BULAN SEBAGAI SATELIT BUMI
Pada malam yang cerah, pada
kondisi yang jauh dari polusi udara dan cahaya kota, langit malam bertabur
bintang menunjukkan kesejatiannya. Dimaklumi bila fenomena tersebut
mempengaruhi pola pikir manusia sejak hadirnya manusia itu sendiri di muka Bumi
termasuk didalamnya adalah apapun fenomena yang terkait Sang Dewi Malam
Rembulan.
Setelah Sang Surya Matahari dengan ragam
kemegahannya yang hadir sebagai syarat butuh kehidupan, maka Bulan pun
menawarkan pola keterulangannya dalam pengembaraannya di lintas orbitnya
mengedari Bumi. Keteraturan perubahan wajahnya membangkitkan beraneka
inspirasi, tidak tertinggal ragam mitologi pun lahir bahkan hingga munculnya
sistem penanggalan berbasis Bulan. Pada kala tertentu akhirnya manusia mencoba
mencatat ragam fenomena yang terkait dengannya secara lebih terstruktur. Secara
universal bahwa pemikiran masa lalu terhadap Bulan dapat jadi sama dengan
sekarang. Yang membedakan adalah hadirnya ragam fasilitas dalam hal iptek.
Jadi, pada masa kekinian dengan rasa penasaran dan imajinasi yang mirip, para
astronom mempelajari apapun yang terkait Bulan berlandas pengamatannya dalam
ranah ujud lalu diolah dalam bahasa matematika (sebut observational science),
lalu dicoba untuk menganalisisnya (sebut theoretical science). Namun,
diujungnya mendapati kembalinya–sesuatu yang membuatnya feel amazement,
rasa takjub dalam ranah spiritnya.
Peredaran dan Fase Bulan
Dilihat dari Bumi, Bulan
merupakan benda langit yang paling terang setelah Matahari terlebih saat
Purnama. Keberadaannya tentu menarik untuk dipelajari. Pergerakan Bulan dari
hari ke hari di antara bintang-bintang dapat diamati dan dapat sangat jelas
ditera perpindahannya sebesar kisaran 13o ke arah timur. Perpindahan
posisi Bulan itu berlangsung di daerah Zodiak. Sang Dewi Malam
pun akan kembali ke tanda Zodiak yang sama setiap kira-kira 27,3 hari.
Kala penjelajahan ini disebut satu bulan sideris (menempuh 1 lingkaran,
360o; lihat gambar 1).
Matahari juga setiap waktu
bergeser ke arah timur (lihat artikel Dari Ekuator sampai ke Kutub),
terlihat seperti dikejar-kejar oleh Bulan. Perubahan fase atau penampakan
bentuk wajah Bulan berulang secara tetap dan tergantung kepada jarak sudutnya
terhadap Matahari. Kondisi Bulan Mati (Bulan Baru) terjadi pada saat Bulan
berada di arah Matahari (pada kondisi khusus akan terjadi Gerhana Matahari;
lihat artikel Gerhana Matahari dan Gerhana Bulan).
Wajah Bulan separuh terjadi ketika jarak sudut Matahari-Bumi-Bulan 90o
atau 270o. Sementara itu, saat fase Bulan Purnama terjadi ketika
jarak sudutnya 180o (Bumi di antara Matahari dan Bulan, dan pada
kondisi khusus akan terjadi Gerhana Bulan). Tahapan fase ini berulang rata-rata
29½ hari yang disebut satu bulan sinodis.
Gerhana
Jarak Bulan dapat ditentukan
dengan cara paralaks atau dengan menggunakan gelombang radar. Perubahan
jaraknya menunjukkan bahwa orbit Bulan berbentuk ellips (lonjong) dengan
eksentrisitas (ukuran kelonjongan) 0,055. Jarak rata-rata Bulan ke Bumi adalah
384.000 km.
Bidang orbitnya mempunyai kemiringan sekitar 5,2o
terhadap bidang ekliptika (bidang edar Bumi mengelilingi Matahari). Kedudukan
bidang orbit tersebut berubah, sedemikian perpotongannya dengan bidang edar
Bumi pun terus berubah. Setiap 18 tahun 8 bulan, kembali pada kedudukan semula.
Periode ini disebut Periode Saros. Hal ini terkait pula dengan fenomena
gerhana. Gerhana Bulan terjadi setiap Bulan Purnama, namun tidak setiap Bulan
Purnama akan terjadi gerhana. Sama halnya tidak setiap Bulan Mati terjadi
Gerhana Matahari, namun Gerhana Matahari terjadi saat Bulan Mati. Hal ini
karena kemiringan bidang orbit dan Periode Saros di atas yang menjadi
penyebabnya (lihat artikel Gerhana Matahari dan Gerhana Bulan
Pasang Surut
Oleh karena Bulan merupakan
benda langit terdekat ke Bumi, maka gaya tarik gravitasi sangat berpengaruh,
meskipun massa Bulan cukup kecil. Terjadinya peristiwa pasang surut permukaan
laut di Bumi disebabkan oleh pengaruh itu. Bumi akan mengalami pasang
setinggi-tingginya pada saat fase Bulan Baru dan Bulan Purnama yang disebut pasang
maksimum. Pada keadaan Bulan-Bumi-Matahari tegak lurus (fase kuartir,
wajahnya separuh), pasang yang terjadi serendah-rendahnya yang disebut pasang
minimum atau perbani. Dengan gaya tariknya itu, mengakibatkan Bumi
mempunyai gerak angguk (nutasi) dan rotasi Bumi pun diperlambat 0,0015
detik dalam rentang waktu 100 tahun (rentang panjang hari bertambah). Dari
jarak dan kecepatan peredaran Bulan, kita dapat mengetahui massanya yaitu
sekitar 1/80 kali massa Bumi. Sementara itu, dari jarak serta diameter sudutnya
diketahui bahwa jari-jarinya adalah 1.738 km (sekitar ¼ jari-jari Bumi). Oleh
karena itu, gravitasi di permukaan Bulan hanya 1/6 kali di Bumi (dengan besar
tenaga yang sama, bila kita meloncat di Bumi hanya setinggi satu meter – maka
di Bulan dapat berlipat ketinggiannya).
No comments:
Post a Comment